Jumat, 15 April 2011

Unifikasi Bacaan AL Qur’an

A. Asal Usul keragaman Bacaan Al Quran
Gagasan tentang latar belakang kemunculan variae lectiones semacam ini, dalam kenyatannya bukanlah hal baru di dalam Islam. Sebagaimana di kemuklakan al Jazairi, Ibn Abi Hasyim pernah mengungkapkan pandangan bahwa sebab terjadinya perbedaan bacaan dalam tradisi kiraah tujuh dan tradisi-tradisi bacaan diluarnya adalah bahwa dikawasan – kawasan utama Islam yang memperoleh kiriman salinan mushaf Utsmani telah berdiam para sahabat Nabi. Yang darinya masyarakat wilayah tersebut mempelajari bacaan Al Qur’an. Karena salinan – salinan mushaf yang dikirim Utsman ditulis dalam scriptio defectiva maka masyarakat tiap wilayah itu tetap membaca mengikuti bacaan yang mereka pelajari dari para sahabat nabi, sepanjang persesuaian dengan teks Utsmani. Sementara yang tidak bersesuaian dengannya di tinggalkan.
Beberapa riwayat menunjukkan bahwa perbedaan – perbedaan dalam pembacaan Al Qur’an telah eksis di kalangan para sahabat Nabi, karena Al Quran di wahyukan dalam tujuh ahruf. Tetapi sejumlah besar sarjana muslim, selama berabad - abad telah berupaya menjelaskan apa yang diamaksud dengan ungkapan sab’ah ahruf dalam riwayat – riwayat tersebut.
Sebagian sarjana muslim menjelaskan pengertian sab’ah ahruf dengan al abwab al sabah (tujuh gerbang atau segi) yang dengannya Al Qur’an turun. Ketujuh segi ini bertalian dengan perintah, larangan, janji, ancaman, perdebatan, kisah masyarakat terdahulu, dan perumpamaan. Ketujuh segi itu juga di beri kandungan lain yaitu: perintah, larangan, halal, haram, muhkam, mutasyabih, dan perumpamaan. Penjelasan ini, sekalipun didasarkan pada beberapa riwayat jelas bertabrakan dengan hadits – hadits tentang tujuh ahruf yang menyiratkan tentang perbedaan pembacaan Al Qur’an sebagai kemudahan kaum muslimin, lantaran ketidak mampuan mereka membacanya dalam satu huruf. Jika perbedaan d kalangan sahabat menyangkut hal – hal yang dijelaskan dalam kandungan abwab al sabah, maka nustahil bagi Nabi untuk menjustifikasi perbedaan – perbedaan tersebut, karena bisa terkontradiksi antara satu dengan lainnya: yang halal bagi suatu bacaan bisa menjadi haram bagi bacaan yang lain yang diperintahkan bisa menjadi terlarang, yang muhkam bisa menjadi mutsyabih, atau sebaliknya, dan seterusnya.
Pemaknaan tujuh ahruf berikutnya adalah tujuh dialek (lahjah) yang berbeda yakni dialek Quraisy, Huzhail, Tsaqif, Hawazin, Kinanah, Tamim dan Yaman. Menurut penjelasan ini jika ketujuh dialek tersebut berbeda dalam mengungkapkan suatu makna, maka Al Qur’an diturunkan dengan sejumlah lafazd yang sesuai dengan dialek – dialek tersebut. Tetapi bila tidak terdapat perbedaan maka Al Qur’an diturunkan dengan satu lafazd. Sebagian ulama’ berpendapat bahwa pewahyuan dalam ketujuh dialek bermakna Al Qur’an secara keseluruhannya tidak keluar dari ketujuh dialek tersebut meskipun sebagian besarnya dalam dialek Quraisy, sebagian lagi dalam dioalek Huzhail, dan seterusnya.

B. Unifikasi Bacaan Al Qur’an
Upaya standardisasi teks Al Qur’an pada masa Utsman, dalam kenyataanya, juga mengarah pada unifikasi bacaan Al Qur’an. Dengan eksistensinya teks yang relative seragam, pembacaan Al Qur’an yang di pijakkan teks tersebut tentunya akan meminimalkan keragaman. Tetapi lantaran aksara yang digunakan ketika itu untuk menyalin mushaf Utsmani yakni srciptio defectiva belum mencapai tingkatan yang sempurna, keragaman bacaan masih tetap mewarnai sejarah awal kitab suci kaum muslimin. Keragaman ini juga bisa dikaitkan dengan hafalan –hafalan materi Al Qur’an lama yang ketika dilakukan standardisasi teks dan pemusnahan mushaf – mushaf non Utsmani tidak dapat dihilangkan begitu saja dari benak para qurro’ dan kemungkinan baru bisa di capai setelah adanya penggantian atau alih generasi.
Pemusnahan seluruh bentuk teks non Utsmani hingga taraf tertentu tidak mungkin menghilangkan keseluruhan tradisi pembacaanya. Hal ini hanya bisa menjadi kenyataan jika pembacaan teks Utsmani diakui memiliki karakter meningkat. Upaya standardisasi yang dilakukan Utsman atupun pada masa berikutnya oleh al Hajjaj bukannya tanpa rintangan. Sebagaimana telah ditunjukkan dua sahabat terkemuka Nabi yang kumpulan Al Qur’annya memiliki pengaruh yang sangat luas di kalamgan kaum muslimin yang awal yakni ibn Masud dan Abu Musa Al Asy’ari terlihat tidak menyepakati kebijakan Utsman dan menolak memusnahkan mushaf mereka. Generasi muslim berikutnya yang mengikuti kedua jejak sahabat nabi tersebut masih tetap memelihara bacaan – bacaan non Utsmani. Bahkan hingga abad ke – 10, penulis fihrist Ibn Al Nadlim melaporkan bahwa ia telah menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri salinan – salinan Mushaf Ubay Ibn Ka’ab dan Inb Mas’ud. Tetapi lantaran tekanan politik dan berlalunya masa rintangan – rintangan terhadap upaya standardisasi teks dan bacaan Al Qur’an berangsur – angsur melemah hingga akhirnya menghilang dari percaturan sejarah Al Qur’an.
Ketika Utsman dan Al Hajjaj secara radikal mencabut akar pertikaian keragaman teks dan bacaan Al Qur’an penentang – penentang standardisasi Al Qur’an mulai melemah dan beralih kepada posisi yang toleran terhadap keragaman teks dan bacaan kitab suci tersebut. Pada paruhan pertama abad ke 2 H juga muncul upaya untuk mempertegas keragaman bacaan Al Qur’an oleh Isa Ibn Umar Al Tsaqafi ( w. 149H) memiliki system bacan Al Qur’an sendiri. Ia berusaha memperkenalkan ragam bacaan itu lebih selaras dengan citra rasa kebahasaan, sekalipun bacaan itu tidak terdapat dalam tradisi kiraah yang lazim. Namun ia memperoleh tantangan keras karena pada abad itu mulai muncul gerakan yang sangat kuat untuk membatsi kebebasan dalam penbacaan Al Qur’an yang di pelopori oleh Imam Malik.
Proses unifikasi bacaan terjadi dalam 2 etape: pertama unufikasi bacaan didalam satu wilayah ( Mishr ), kedua unifikasi bacaan antara wilayah – wilayah
Qiraat Tujuh dan perawinya
No Wilayah Qari’ Rawi I Rawi II
1 Madinah Nafi’ Warsy Qalun
2 Makkah Ibn Katsir Al Bazzi Qanbul
3 Damaskus Ibnu Amir Hisyam Ibn Dakhwan
4 Basrah Abu Amr Al Duri Al Susi
5 Kufah Ashim Hafsh Syu’bah
6 Kufah Hamzah Khalaf Khalad
7 Kufah Al Kasai Al Duri Abu Harits
Tiga Imam setelah qiraah tujuh
No Wilayah Qari’ Rawi I Rawi II
1 Madinah Abu Ja’ far Isa Ibn Jammaz
2 Basrah Ya’qub Ruways Ruh
3 Kufah Khalaf Ishaq Idris
Empat Imam setelah sepuluh
No Wilayah Qari’
1 Makkah Ibn Muhaisin
2 Basrah Al Yazidi
3 Basrah Al Hasan Al Basri
4 Al A’masy
Eliminasi berbagai bentuk penyimpangan terhadap mushaf Utsamani ini hanya meupakan salah satu dari proses – proses ke arah unifikasi teks dan bacaan Al Qur’an. Faktor yang mempengaruhi proses tersebut adalah prinsip mayoritas. Hal utama yang disepakati dalam proses unifikasi ini dilihat dari karakteristik tulisan adalah titik – titik diakritis untuk kerangka – kerangka konsonan yang sama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar