Jumat, 15 April 2011

AL-QUR'AN♥

Pendahuluan
Al-Quran dalam bentuknya yang kita kenal sekarang sebetulnya adalah sebuah inovasi yang usianya tak lebih dari 79 tahun. Usia ini didasarkan pada upaya pertama kali kitab suci ini dicetak dengan percetakan modern dan menggunakan standar Edisi Mesir pada tahun 1924. Sebelum itu, Alquran ditulis dalam beragam bentuk tulisan tangan (rasm) dengan teknik penandaan bacaan (diacriticalmarks) dan otografi yang bervariasi.

Hadirnya mesin cetak dan teknik penandaan bukan saja membuat Alquran menjadi lebih mudah dibaca dan dipelajari, tapi juga telah membakukan beragam versi Alquran yang sebelumnya beredar menjadi satu standar bacaan resmi seperti yang kita kenal sekarang.

Versi bacaan (qiraat) adalah satu jenis pembacaan Alquran. Versi ini muncul pada awal-awal sejarah Islam (abad pertama hingga ketiga) akibat dari beragamnya cara membaca dan memahami mushaf yang beredar pada masa itu. Mushaf adalah istilah lain dari Alquran, yakni himpunan atau kumpulan ayat-ayat Allah yang ditulis dan dibukukan.

Sebelum Uthman bin Affan (thn 35 H), khalifah ketiga, memerintahkan satu standarisasi Alquran yang kemudian dikenal dengan “Mushaf Uthmani,” pada masa itu telah beredar puluhan --kalau bukan ratusan-- mushaf yang dinisbatkan kepada para sahabat Nabi. Beberapa sahabat Nabi memiliki mushafnya sendiri-sendiri yang berbeda satu sama lain, perbedaan itu hanya berdasarkan perbedaan dialek antara suku-suku Arab, sehingga tidak merubah Substansi dari Al Qur’an itu sendiri.
Ibn Mas’ud, seorang sahabat dekat Nabi, misalnya, memiliki mushaf Alquran yang tidak menyertakan surah al-Fatihah (surah pertama). Hal ini memancing perdebatan di kalangan para ulama apakah al-Fatihah merupakan bagian dari Alquran atau ia hanya merupakan “kata pengantar” saja yang esensinya bukanlah bagian dari kitab suci.
Salah seorang ulama besar yang menganggap al-Fatihah bukan sebagai bagian dari Alquran adalah Abu Bakr al-Asamm (thn 313 H). Dia dan ulama lainnya yang mendukung pandangan ini berargumen bahwa al-Fatihah hanyalah “ungkapan liturgis” untuk memulai bacaan Alqur’an. Tetapi keyakinan tersebut berhasil dipatahkan oleh Khlaifah Ustman dengan mengutip hadist Nabi : “siapa saja yang tidak memulai sesuatu dengan bacaan bismillah maka pekerjaannya menjadi sia-sia.” Kat-kata Bismillah memang menjadi pembuka ayat dalam surat Al Fatihah.

Setelah Uthman melakukan kodifikasi dan standarisasi, ia memerintahkan agar seluruh mushaf kecuali mushafnya (Mushaf Uthmani) dibakar dan dimusnahkan. Alasan tersebut dimungkinkan untuk penyeragaman dialek dan bacaan Al Qur’an serta susunan Ayat yang menurut mushaf-Mushaf lainnya tidak teratur,dan tanda baca, sehingga bagi orang yang tidak pernah mendengar bunyi sebuah kata dalam Alquran, dia harus merujuk kepada otoritas yang bisa melafalkannya.

Otoritas bacaan bukanlah satu-satunya sumber yang menyebabkan banyaknya varian bacaan. Jika otoritas tidak dijumpai, kaum Muslim pada saat itu umumnya melakukan pilihan sendiri berdasarkan kaedah bahasa dan kecenderungan pemahamannya terhadap makna sebuah teks. Dari sinilah kemudian muncul beragam bacaan yang berbeda akibat absennya titik dan harakat (scripta defectiva). Misalnya bentuk present (mudhari’) dari kata a-l-m bisa dibaca yu’allimu, tu’allimu, atau nu’allimu atau juga menjadi na’lamu, ta’lamu atau bi’ilmi.

Untuk mengatasi varian-varian bacaan yang semakin liar, dan untuk menertibkan dialeg , susunan surat serta tanda baca yang berbeda maka pada tahun 322 H, Khalifah Abbasiyah lewat dua orang menterinya Ibn Isa dan Ibn Muqlah, memerintahkan Ibn Mujahid (w. 324 H) melakukan penertiban. Setelah membanding-bandingkan semua mushaf yang ada di tangannya, Ibn Mujahid memilih tujuh varian bacaan dari para qurra ternama, yakni Nafi (Madinah), Ibn Kathir (Mekah), Ibn Amir (Syam), Abu Amr (Bashrah), Asim, Hamzah, dan Kisai (ketiganya dari Kufah).

Kondisi Jazirah Arab Sebelum Al Qur’an diturunkan

A. Situasi Politik
Jazirah arab terletak sangat terisolasi baik dari sisi daratan maupun lautan, di kawasan inilah Nabi Muhammad memperjuangkan risalah-ridalah ilahinya, perselisihan yang membawa peperangan dalam sekala besar-besaran di setepa-setepa jazirah tersebut, Arabia mwrupakan kawasan yang kecil, meskipun memiliki posisi yang cukup penting sebagai kawasan penyangga dalam ajang perebutan kekuasan politik di timur tengah, yang ketika itu di domisi oleh imperium raksasa Bizantium dan Persia.
Wilayah kekuasan Bizantium/Romawi timur yang beribukota di Konstatinopel pada abad ke 7 sudah ,meliputi sebgian Asia, Siria, Mesir dan bagian tenggara Eropa, musuh besar Bizantium dalam perebutan kekuasaan di timur tegah adalah Persia,yang mana wilayah kekuasaannya terbengtang dari irak dan mosopotamia hingga pedalaman timur iran hingga afganistan, ibu kota imprium ini adalah al-mada’in terletak sekitar dua puluh mil di sebelah tenggara kota Baghdad,perebutan kekuasam ke dua imprium adidaya di atas nemiliki pengaruh yang nyata terhadap situasi politik di Arabia ketika itu kira-kira pada tahun 521 M. kerajaan kriaten abisinia dengan dukungan penuh Bizantium menyerbu daratan tinggi yaman yang subur di barat daya Arabia, memandang serbuan tersebut sebagai ancaman terhadap kekuasaanya, dzunnuwas, penguasa Arabia selatan yang pro Persia, bereaksi dengan nenbantai orang-orang Kristen najran yang menolak memeluk agana yahudi, yang akhirnya pada tahun 525 dzunnuwas berhasil di gulingkan dari tahtanya melalui penyerangan yang di lakukan orang-orang abisinia, tetapi sekitar 575 daratan tinggi yaman berhasil di kuasai Persia, peristiwa ini memiliki pengaruh traumatik terhadap keseluruh jazirah arab.
Menjelamg lahirnya nabi Muhammad penguasa Abisinia Abrahah melakukan infasi kemekah, tetapi gagal menaklukkan kota tersebut lantaran karena terkena malapetaka yang begitu dahsyat, yang di kisahkan dalam al-qur’an surat 105, pada perinsipnya penyerbuan tersebut memiliki tujuan yang secera sepenuhnya berada dalam kerangka politik inter nasional ketika itu,yaitu upaya bizantiom untuk menyatukan suku-suku arab supaya berada di bawah pengaruhnya guna menantang Persia, sementara sejarawan muslim menambahkan tujuan lain untuknya.Menurut mereka panyerangan teraebut di maksid untuk menyerang ka’bah, dalam rangka menjadikan gereja megah di san’a yang di bangun abrahah sebagai pusat ziarah keagamaan di Arabia, ini adalah sebagian contoh kecil masalah perebutan kekuasaan dan situasi politik yang berkembang pada masa itu.

B.Kehidupan di jazirah Arab
Tanah air petama islam, Makkah, merupakan pusat perniagaan yang sangat makmur, sementara tanah air yang ke duanya, Yatsrib yang lebih kita kenal dengan Madinah adalah oase kaya yang juga merupakan kota niaga.kira-kira pada penghujung abad yang ke-6 para pedagang besar kota mekkah telah menguasai perniagaan yang lewat bolak-balik dari pingran pesisir barat Arabia ke laut tengah yang biasanya kafilah-kafilah dagang tersebut pergi ke selatan ( yaman ) di musim dingin dan ke utara di musim panas (syiria) di tangan kafilah-kafilah inilah, orang-orang mekah melakukan eksistensinya yang asasi. Di lembah kota mekah yang tandus,pertanian dan perternakan adalah impian indah disiang bolong, kota ini bergantung pada import bahan makanan, karna itu kehidupan ekonominya yang khas adalah di bidang perniagaan, dan kemungkinan besar hanya bersifat moneter.

Namun di tengah-tengah masyarakat niaga ini,sebagai mana halnya dalam nasyarakat-masyarakat niaga pada umumnya, muncul masalah-masalah ketidak seimbangan dan pergolakan sosial seperti tukar-menukar dan timbang-menimbang yang tidak sesuai dengan ketentuan serta praktek riba yang menjadi fenomena umum, yang mana akan memperlebar kesenjangan sosial yang mengakibatkan banyaknya penindasan kepada yang lemah dan neraka perbudakan,yang mana mereka menganggap kehidupan hanyalah didunia ini, kita mati dan kita hidup serta tidak ada yang membinasakan kecuali masa seperti yang diterangkan dalam Al Quran 45 : 24 dan mereka berkeyakinan bahwa kita sama sekali tidak dibangkitkan.
Lantaran tekanan populasi yang berkesinambungan terhadap persediaan makanan, perjuangan untuk mempertahankan eksistensi melawan saingan-saingan tidak pernah berakhir, untuk menghadapi musuh dan tolong menolong melawan keganasan alam, orang – orang Arab menyatukan dirinya dalam kelompok – kelompok yag biasanya didasarkan pada pertalian darah. Kesetiakawanan kesukuan merupakan persyatan mutlak dalam kehupan liar di padang pasir, tanpa suatu tarap solidaritas yang tinggi, tidak ada harapan bagi siapapun untuk meraih keberhasilan dalam mempertahankan eksistensi. Dalam taraf yang lebih jauh, solidaritas kesukuan mengharuskan seseorang berpihak secara membabi buta kepada saudara – saudara sesukunya tanpa peduli apakah mereka keliru apa benar.
Secara politik Nabi Muhammad terlihat telah menikmati keuntungan dari sistem perlindungan kesukuan didalam masyarakat kota Makkah, khususnya pada tahun – tahun pertama aktivitas kenabiannya. Beliau bisa bertahan hidup dikota ini sekalipun dalam posisi yang sangat keras. Kerena beliau berasal dari bani Hasyim, yaitu suatu klan yang relatif cukup kuat maka kehidupan beliau ada yang melindunginya, sekalipun banyak yang tidak setuju dengan Agama barunya. Tapi kemudian Nabi melakukan hijrah setelah klan ini menarik perlindungan atasnya pada masa kepemimpinan Abu lahab, barangkali inilah yang melatar belakangi kecaman keras Al Quran terhadapnya ( 111 : 1 – 5 ).
Ini adalah sebagian kecil dari kisah sejarah Arab pada masa lampau sebelum diutusnya Rosulullah. Kalau kita telusuri kisah-kisah diatas tentunya kiya dapat menyimpulkan betapa besarnya jasa beliau Rosulullah didalam mengehtaskan moral-moral dan keyakinan mereka menuju suatu kehidupan yang agamis

C. Suasana Keagamaan
Disekitar Madinah, Taimak, Fadak, Khoibar, Wadil quro serta Yaman terdapat sejumlah pemukiman Yahudi. Keberadaan orang – orang yahudi di Arabia bisa ditelusuri mulai abad pertama masehi. Penaklukan Yerussalem oleh kaisar Titus ( sekitar 70 M ) serta penumpasan pemberontakan Bar Kocbha ( sekitar 135 M ) barangkali inilah telah membuat orang – orang Yahudi di kota tersebut terpaksa meninggalkan negerinya untuk mengembara dan kemudian menetap di Arabia. Alfred Guillaume menyebutkan 6 kota arab yaitu Hijjr, Ula, Taimak, Khoibar, Thaif dan Madianah yang menjadi tempat pemuikiman Yahudi. Kota Makkah tidak dimasuki, karena merupakan pusat penyembahan berhala. Sekalipun demikian, orang –orang Quraisy mengenal dengan baik agama Yahudi, karena kota itu berada di jalur perniagaan Yaman dan Syiria.
Agama kristen memiliki sejumlah pengikut dari orang badui yang tinggal di dekat perbatasan Syiria dan di Yaman khususnya ketika negeri ini berada dibawah kekuasaan Abesinia. Di Makkah sendiri ada sejumlah individu terpencil seperti Waraqah Ibnu Naufal, sepupu istri pertama nabi Muhammad ( Khodijah ) yang menjadi pengikut kristus. Meskipun ada individu – individu tertentu dari kalangan pemeluk agama Yahudi dan kristen di Arabia yang telah menerima ajaran –ajaran agama mereka secara sistematis. Belakangan sebagiannya menyatakan keimanan kepada risalah yang dibawa Nabi Muhammad, dan sebagian lagi tidak. Kebanyakan orang arab yang mengikuti kedua agama ini memiliki penetahuan yang kacau balau tentang agamanya, sebagian pribumi Arab yang beraganma Yahudi, misalnya, tidak mengetahui alkitab (Taurot) kecuali hayalan belaka dan mereka hanya menduga – duga ( 2 : 78 ) bahkan AlQuran mentamsilkan orang – orang yahudi yang memiliki Taurot tetapi tidak memperoleh manfaat darinya sebagai keledai yang dibebeni kitab ( 62 : 5 ). Dikatakan bahwa orang – orang yahudi, sebagaiman halnya orang – orang kristen, telah menjadikan pendeta dan rahib mereka sebagai arbab ( bentuk jamak dari rabb, “tuhan” ) selain Allah ( 9: 31 ). Juga terdapat kepercayaan yang berkembang dikalangan yahudi arab bahwa Nabi Uzair adalah putra Allah ( 9 : 30 ).
Secara ketat, masalah keagamaan di Arabia pada umumnya adalah politeisme. Sekalipun kebanyakan orang Arab mengakui dan menerima gagasan tentang Allah sebagao pencipta alam, tetapi menyembahan aktual mereka pada faktanya ditunjukkan kepada tuhan-tuhan lain yang di pandang sebagai perantara-perantara kepada Allah. Namun dalam situasi-situasi tertentu, mereka biasanya menganut monoteisme temporal tanpa peduli akan implikasi sikap tersebut. Ketika dalam keadaan bahaya, mereka biasanya mengesakan tuhan dengan ketulusan yang sangat. Tetapi, setelah lepas dari mara bahaya, mereka melupakannya dan kembali menyekutukan Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar